Kamis, 16 April 2009

Tanggal 2 Mei....!


Tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia menyepakati sebagai hari pendidikan nasional (Hardiknas). Suatu peringatan yang yang selalu dikaitkan dengan kelembagaan formal yang disebut sekolah. Ada benarnya juga sebab pihak yang paling dianggap bertanggung jawab terhadap proses pendidikan di Indonesia saat ini memang sekolah. Itulah sebabnya sebagian masyarakat menggambarkan Hari Pendidikan Nasional tidak lebih sebagai Hari Sekolah Nasional.
Pengalaman bersekolah bagi kita bisa jadi merupakan salah satu pengalaman yang sukar dilupakan. Betapa tidak. Rata-rata orang menghabiskan sebagian waktu dalam hidupnya untuk bersekolah. Mulai dari TK, SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi membutuhkan waktu sampai belasan bahkan puluhan tahun. Pengalaman belajar ini akan lebih lama lagi apabila semangat belajar hingga jenjang S3 pun dilakukan. Biaya yang harus dikeluarkan orangtua untuk membiayai anaknya bersekolah tak terhitung lagi. Biaya sekolah ini bahkan semakin lama semakin sulit dijangkau masyarakat karena sebagian besar masih bergulat dengan kemiskinan. Itulah sebabnya Eko Prasetyo padaTahun 2004 menerbitkan buku menarik berjudul “Orang Miskin Dilarang Sekolah” dan Pengumuman : Tidak ada Sekolah Murah ! yang menggambarkan kondisi mutakhir permasalahan sekolah di Indonesia.
Dalam ingatan kita, sekolah bukan tempat yang selalu menyenangkan, bisa jadi yang didapat adalah pengalaman buruk yang sukar dilupakan. Seperti dipaksa mengunyah-ngunyah segala macam aturan yang serba melarang, berseragam, intimidasi kakak kelas, dan guru/dosen “killer”, harus belajar berbagai mata pelajaran disaat kita harusnya bersosialisasi dengan teman, pekerjaan rumah. pokoknya serba mengerikan. Tak heran yang paling membahagiakan saat-saat sekolah adalah ketika bel tanda istirahat tiba, guru absen, pulang lebih awal karena guru melakukan “upgrading” atau rapat dengan kepala sekolah. Dan yang paling menyenangkan tentunya ketika bel berbunyi tanda belajar disekolah telah usai yang diekspresikan dengan teriakan gembira. Jika hampir semua murid merasakan itu semua, tentunya ada sesuatu yang salah dalam sistem pendidikan yang kita terima di sekolah.
Sekolah juga bukanlah tempat yang netral. Ia merupakan campuran pelbagai ideologi mulai dari ideologi orangtua, negara sampai ideologi pasar. Bagi kalangan berduit, sekolah merupakan tempat untuk menjejali anak sedini mungkin dengan macam-macam ketrampilan sehingga anak dijadikan media pameran konsep mendidik menurut orang tuanya. Tapi bagi kebanyakan, sekolah adalah tempat untuk memberikan bekal masa depan yang jauh lebih baik ketimbang kehidupan orang tuanya.
Lewat sekolah penggambaran kesenjangan sosial menjadi kelihatan jelas dan nyata. Uanglah yang punya wibawa dan kuasa. Sekolah unggulan misalnya memberikan fasilitas lengkap dan mewah untuk belajar. Seolah-olah pendidikan bermutu hanya bisa diperoleh dengan rupiah yang bergepok-gepok. Bagi yang tidak sanggup dan kurang mampu bisa memilih sekolah biasa-biasa saja. Tentu dengan resiko berjalan dengan kondisi apa adanya plus guru dengan kemampuan seadanya.
Tak jauh beda dengan yang terjadi di Perguruan Tinggi. Pencabutan subsidi bagi Perguruan Tinggi Negeri dan digantikan menjadi Badan Hukum Milik Negara berarti saatnya otonomi dan konsekuensinya membebani biaya kuliah yang sangat tinggi. Lupakan kampus sebagai tempat “penggodogan” untuk melahirkan mahasiswa kritis. Saat ini, yang penting Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi, lulus secepatnya, kemudian mengadu nasib dengan melamar kerja kesana kemari, atau masuk menjadi anggota salah satu parpol.
Dengan sistem pendidikan yang yang berorientasi uang, masyarakat yang tak mampu dengan sendirinya terpinggirkan dan hanya menjadi penonton belaka. Banyak kebijakan politis pemerintah yang berpihak pada kaum kebanyakan , namun dalam implementasinya sulit untuk dinyatakan efektif, karena pengelola sekolah dan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta cenderung memilih hukum pasar dibandingkan dengan idealisme pendidikan murah dan gratis seperti yang sering dikampanyekan calon bupati/walikota/gubernur bahkan presiden sekalipun.
Pendidikan yang mestinya memanusiakan manusia, justru mempersiapkan manusia menjadi robot merotot. Sekolah menjadi pabrik manusia baru yang mata duitan. Memandang segala sesuatu hanya bernilai jika mengandung uang. Jika Ki Hajar Dewantoro masih hidup, beliau pasti sedih karena perjuangannya mendirikan Taman Siswa dulu tidak selaras dengan kenyataan dunia pendidikan saat ini. Namun hikmahnya, sekarang kita faham mengapa semakin banyak para pejabat dan politikus yang kepergok KPK terima uang yang tidak jelas juntrungannya di hari minggu…. !!

0 komentar: