Jumat, 08 Mei 2009

UN lagi....Un lagi....un lagi...

Semua kecarutmarutan berawal dari reformasi dan demokrasi kebablasan yang telah membuat mental bangsa ini berada pada titik paling mengenaskan.
Ketika kebiasaan menyalahkan metode sebagai salah satu sumebr terbesar kegagalan adalah menjadi hal paling utama saat ini.

Kenapa UN yang disalahkan?sependap at dengan pak riyanto mengenai penjelasanya. Ketika tolak ukur sudah tidak lagi dijadikan sebuah pijakan ataupun dasar maka yang terjadi dalam semua proses adalah sebuah hasil tak terukur alias output2 ngawur yang sangat SUBYEKTIF!!!

UN sebagai syarat kelulusan adalah hal yang tidak perlu diperdebatkan karena itu adalah cara tolak ukur kita sebagai orang tua, pendidik dan pejabat pemerintah untuk dapat melakukan kontrol terhadap dunia pendidikan itu sendiri. Dan saya yakin yang berdiskusi disini adalah orang-orang yang selalu mengedepankan rasionalitas dan obyektifitas maka dari itu sebagai salah satu parameter sesuatu itu dapat dipertanggungjawabk an adalah terukur dan jika UN sebagai salah satu parameter diminta untuk dihilangkan , apa yang akan terjadi? KKN akan semakin merajalela ............ .......

Untuk pemerintah yang diperbaiki dengan kasus ketakutan UN ini adalah memperbaiki kualitas uji komptensi saringan masuk guru. Jangan cuma karena berijazah IKIP/ Punya akta4 terus otomatis bisa jadi guru.
Kenapa tidak dibuka kran persyaratan GURU dari segala penjuru disiplin UNIVERSITAS dan tidak perlu ada pembatasan jenis ijazah?karena mohon maaf sebelumnya, coba kita tengok kualitas dari para lulusan IKIP dan Universitas2 masih terdapat kepincangan bukan?

Dan fakta yang menarik yang saya temukan adalah adanya korelasi penolakan UN dengan adanya korelasi syarat GURU.
Kalo lowongan guru saja harus punya akta4/ ijazah ikip dan tidak boleh dari selain itu bisa dilihat bukan ternyata syarat terbesar menjadi guru adalah IJAZAH dan ketika dalam sebuah forum IKIP hal tersebut akan dijebol, coba tengok kenapa salah satu pejabat keberatan?
Kalo Calon Guru saja tidak berani bersaing dan berharap mendapat jatah bagaimana juga siswanya bisa berani ngadepin UN?

Mari ciptakan suasana belajar yang menyenangkan untuk menciptakan generasi bukan pengecut apalagi generasi yang takut menghadapi UN. Ciptakan terus semangat berkompetisi, NO sacrifice no Victory!!
dari:

[MailingListPendidikanNetwork]

Jumat, 17 April 2009

Seterilkan Budi pekerti Sebelun Ujian Nasional.!!!


20 s/d 24 April adalah hari dimana pertarungan hidup dan mati seorang pelajar kelas III SMA, MA/SMK. Pasalnya hari itu adalh hari dimana diselenggarakanya Ujian Nasional yang menjadi penentu kelulusan pelajar kelas III setelah belajar selama 3 tahun. Seakan hasil belajar 3 tahun hanya di tentukan oleh Ujian Nasional 5 hari saja. Hal ini sungguh menjadi sebuah perhatian yang besar oleh semua keluara pendidikan. Pelajar, Guru, kepala Sekolah dll. Dan juga pemerintah selaku pemegang kebijakan tentang Ujian Nasional(UN) merasa bahwa sistem Ujian Nasional saat ini dirasa jalan terbaik untuk meningkatkan kualitas pendidikan di indonesia. Karena setiap tahun nilai standar kelulusan selalu di naikan, yang bertujuan meningkatkan semangat belajar siswa agar bisa lulus ujian. Pemerintahpun juga berharap dan berusaha agar dalam penyeklenggaraan Ujian Nasional tidak ada kecurangan.

Pemerintah atau Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) melibatkan polisi dan tim independen dari perguruan tinggi (PT) yang berjumlah 55.265 orang, pengawas ruangan yang atas widya iswara, asosiasi pendidikan non-PGRI, dsb 1.03.000 orang.
20-24 April 2009 sekitar 2.207.805 pelajar SMA, MA, dan SMK akan mengahadapi Menjalani Ujian Nasional.(sumber Suara Merdeka 17 April 2008). Hal di atas dilakukan guna mengurangi kecurangan dalam ujian nasiomnal. Pemerintah menyatakan UN memang efektif untuk meningkatkan semangat belajar siswa terbukti berdasarka evaluasi tahun 2004, rata-rata nilai UN 5,5. Namun tahun 2008 meningkat drastis menjadi 7,3. Untuk mengantisipasi kecurangan pemerintah juga menseterilkan ruang Ujian, bahwa tidak boleh ada aktifitas apapun diruang ujian supaya proses ujian terhindar dari kecurangan dan kebocoran.

Sebenarnya tidak hanya ruang ujian yang harus di seterilkan, dan apakah benar peningkatan semangat belajar dapat di ukur dari rata-rata nilai kelulusan, saya rasa masih banyak kecurangan yang ada dalam pelaksanaan ujian nasional. Dan mungkin 50% dari siswa yang blulus bukan dari hasil belajarnya melainkan dari kecurangan-kecurangan dalam ujian, entah itu mencontek temanya, di bantu oleh guru, atau membeli jwaban dari calo yang tidak bertanggung jawab.

Maka tidak hanya ruang ujian yang di seterilkan, tapi Akhlak atau Budi pekerti dari semua keluarga pendidikan yang harus di seterilkan dari sifat-sifat tercela yang berpotensi melakukan kecuarangan dalam penyelenggaraan Ujian..

Jadi Aklhak para guru dan siswalah yang harus di sterilkan, karena meski pemerintah menyediakan tim pengawas ujian sebanyak apapun tapi jika pelaksana tidak memiliki dasar Akhlak yang baik tetap saja akan mencari Celah celah untuk bisa melakukan kecurangan dalam Ujian.....Kalau siswa dengan mencontek dan guru mencarikan jawaban untuk muridnya maka peningkatan semangat bekajar itu semua tidak benar.

J
adi solusinya adalah hendaknya semua sekolah lebih memperhatikan pendidikan agama yang mana bisa menjadi barometer ukuran Aklhak yang baik nagi semua warga pendidikan. Niscaya tidak ada lagi kecurangan dalam hal apapun terutama dalam pendidikan.

Kamis, 16 April 2009

Remaja, Narkoba, dan Jihad Keluarga

Narkoba, dalam pengertian sekarang, belum dikenal di masa Nabi. Tetapi, istilah khamr (yang selama ini sering hanya diartikan hanya minuman keras), dapat dijadikan wadah untuk menentukan status hukum narkoba. Makna asal dari khamr adalah “menutupi (akal)”. Setiap makanan atau minuman yang dapat menyebabkan tertutupnya akal dinamai khamr. Dia merupakan segala jenis makanan atau minuman yang dapat mengganggu pikiran atau menghilangkan kesadaran ketika dikonsumsi dengan kadar normar oleh seorang yang normal, baik yang diolah atau tidak. Hukum mengkonsumsi khamr adalah haram, banyak atau sedikit, baik ketika dikonsumsi dapat memabukkan secara faktual atau tidak.

Narkoba termasuk dalam kategori khamr. Potensi memabukkan atau menghilangkan kesadaran (akal) yang dimiliki narkoba tidak perlu diragukan lagi. Karena itu, dalam pandangan Islam, narkoba merupakan barang haram. Keharaman narkoba, yang sudah sejak awal dapat dipastikan karena potensi memabukkannya, akan semakin kokoh status keharamannya dengan menengok berbagai jerit memilukan yang ditimbulkannya. Barang ini telah menjelma menjadi salah satu virus paling menakutkan di dunia, sehingga banyak negara yang memastikan vonis mati bagi setiap orang yang “menyentuh”-nya.

Remaja dan Narkoba
Peredaran dan kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia cenderung meningkat, malahan sangat memprihatinkan dan membahayakan kehidupan bangsa. Bayangkan, menurut salah satu data, peredaran narkoba di Indonesia meningkat 110,9 persen per tahun. Indonesia bukan hanya sebagai tempat transit perdagangan gelap narkoba, tetapi telah menjadi tempat pemasaran, bahkan tempat produksi.

Realitas yang paling mengiris perasaan adalah bahwa korban utama yang berjatuhan di depan moncong senjata narkoba adalah para generasi muda, sejak usia Sekolah Dasar (SD) sampai mahasiswa perguruan tinggi. Narkoba merupakan salah satu ancaman terbesar generasi muda saat ini. Jika persoalan tidak diatasi dengan secepatnya dan tuntas, dapat diprediksi betapa mengerikannya masa depan Indonesia. Dalam waktu yang tidak lama lagi, negara ini akan dipimpin oleh manusia-manusia yang dilahirkan dari rahim narkoba.

Bayangkan, dari dua juta pecandu narkoba, 90 persen adalah generasi muda, termasuk 25 ribu mahasiswa. Kasus penyalahgunaan narkoba oleh pelajar dan mahasiswa tidak lagi cenderung tinggi, tetapi sudah tinggi sejak tahun 2001. Misalnya, 60-70 persen tersangka penyalahguna narkoba yang ditangkap Polda Metro Jaya berusia 16 sampai 21 tahun dan setengahnya adalah pelajar yang masih aktif bersekolah. Dari temuan Badan Narkotika Nasional (BNN), data 2006 tercatat 8.449 pengguna dari siswa SD, meningkat lebih dari 300 persen dari tahun 2005 sebanyak 2.542 orang. Pengguna di kalangan siswa sekolah menengah pada tahun 2004 terdapat 18 ribu orang dan naik menjadi 73.253 orang di tahun 2007.

Jihad Keluarga
Ini masalah sangat serius yang harus segera dicarikan penyelesaiannya. Narkoba telah menyebabkan banyak kerugian, materi maupun non materi. Banyak kasus pembunuhan, perkelahian, perceraian, pencurian, putus sekolah, bahkan kematian, yang disebabkan oleh ketergantungan terhadap narkotika.

Sebagai langkah antisipasi, sekalipun kecil tetapi memiliki sumbangan signifikan, proteksi keluarga terhadap setiap remaja merupakan sebuah keniscayaan. Pesan standar al-Qur’an dalam menciptakan generasi kuat dapat diarahkan pada kasus ini. Sejak awal Al-Qur’an memperingatkan agar setiap orang tua senantiasa mempersiapkan dengan baik dan mengkhawatirkan kesuraman masa depan anak-anaknya. Jangan sampai mereka menjadi anak-anak lemah yang memiliki masa depan tidak jelas (QS. 4:9).

Anak-anak tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri dalam mengarungi gelombang masanya yang penuh dengan jerat narkoba. Mereka amat membutuhkan kondisi yang aman dari semua itu. Lingkungan keluarga yang tidak kondusif merupakan salah satu pintu yang dapat mengantarkan seorang anak ke dunia narkoba. Suasana komunikasi keluarga yang tersendat, kehidupan yang tidak harmonis, kesibukan orang tua yang tidak mengenal waktu, sikap acuh terhadap kehidupan anak, gaya otoriter, perceraian, dan sebagainya merupakan alasan bagi anak untuk “mengadu” pada narkoba. Apalagi jika di dalam kehidupan tidak ditemukan keteladanan dan tersemainya nilai-nilai agama secara baik.

Langkah lain dalam jihad keluarga terhadap narkoba yang tidak kalah pentingnya adalah mencarikan anak-anak tersebut sekolah yang jauh dari “neraka” narkoba. Pada umumnya sekolah tersebut memiliki disiplin yang baik, tidak dekat dengan tempat hiburan serta dapat memberikan kesempatan yang cukup kepada siswanya untuk mengembangkan diri secara positif. Juga, bimbing dan awasilah mereka dalam berteman. Jangan biarkan mereka berteman dengan anak-anak yang “sudah hitam”. Sebab, dalam kondisi tertentu, teman bisa memiliki power yang jauh lebih kuat dari orang tua dan dirinya sendiri dalam menentukan arah masa depan seorang anak. (CMM)

Tanggal 2 Mei....!


Tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia menyepakati sebagai hari pendidikan nasional (Hardiknas). Suatu peringatan yang yang selalu dikaitkan dengan kelembagaan formal yang disebut sekolah. Ada benarnya juga sebab pihak yang paling dianggap bertanggung jawab terhadap proses pendidikan di Indonesia saat ini memang sekolah. Itulah sebabnya sebagian masyarakat menggambarkan Hari Pendidikan Nasional tidak lebih sebagai Hari Sekolah Nasional.
Pengalaman bersekolah bagi kita bisa jadi merupakan salah satu pengalaman yang sukar dilupakan. Betapa tidak. Rata-rata orang menghabiskan sebagian waktu dalam hidupnya untuk bersekolah. Mulai dari TK, SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi membutuhkan waktu sampai belasan bahkan puluhan tahun. Pengalaman belajar ini akan lebih lama lagi apabila semangat belajar hingga jenjang S3 pun dilakukan. Biaya yang harus dikeluarkan orangtua untuk membiayai anaknya bersekolah tak terhitung lagi. Biaya sekolah ini bahkan semakin lama semakin sulit dijangkau masyarakat karena sebagian besar masih bergulat dengan kemiskinan. Itulah sebabnya Eko Prasetyo padaTahun 2004 menerbitkan buku menarik berjudul “Orang Miskin Dilarang Sekolah” dan Pengumuman : Tidak ada Sekolah Murah ! yang menggambarkan kondisi mutakhir permasalahan sekolah di Indonesia.
Dalam ingatan kita, sekolah bukan tempat yang selalu menyenangkan, bisa jadi yang didapat adalah pengalaman buruk yang sukar dilupakan. Seperti dipaksa mengunyah-ngunyah segala macam aturan yang serba melarang, berseragam, intimidasi kakak kelas, dan guru/dosen “killer”, harus belajar berbagai mata pelajaran disaat kita harusnya bersosialisasi dengan teman, pekerjaan rumah. pokoknya serba mengerikan. Tak heran yang paling membahagiakan saat-saat sekolah adalah ketika bel tanda istirahat tiba, guru absen, pulang lebih awal karena guru melakukan “upgrading” atau rapat dengan kepala sekolah. Dan yang paling menyenangkan tentunya ketika bel berbunyi tanda belajar disekolah telah usai yang diekspresikan dengan teriakan gembira. Jika hampir semua murid merasakan itu semua, tentunya ada sesuatu yang salah dalam sistem pendidikan yang kita terima di sekolah.
Sekolah juga bukanlah tempat yang netral. Ia merupakan campuran pelbagai ideologi mulai dari ideologi orangtua, negara sampai ideologi pasar. Bagi kalangan berduit, sekolah merupakan tempat untuk menjejali anak sedini mungkin dengan macam-macam ketrampilan sehingga anak dijadikan media pameran konsep mendidik menurut orang tuanya. Tapi bagi kebanyakan, sekolah adalah tempat untuk memberikan bekal masa depan yang jauh lebih baik ketimbang kehidupan orang tuanya.
Lewat sekolah penggambaran kesenjangan sosial menjadi kelihatan jelas dan nyata. Uanglah yang punya wibawa dan kuasa. Sekolah unggulan misalnya memberikan fasilitas lengkap dan mewah untuk belajar. Seolah-olah pendidikan bermutu hanya bisa diperoleh dengan rupiah yang bergepok-gepok. Bagi yang tidak sanggup dan kurang mampu bisa memilih sekolah biasa-biasa saja. Tentu dengan resiko berjalan dengan kondisi apa adanya plus guru dengan kemampuan seadanya.
Tak jauh beda dengan yang terjadi di Perguruan Tinggi. Pencabutan subsidi bagi Perguruan Tinggi Negeri dan digantikan menjadi Badan Hukum Milik Negara berarti saatnya otonomi dan konsekuensinya membebani biaya kuliah yang sangat tinggi. Lupakan kampus sebagai tempat “penggodogan” untuk melahirkan mahasiswa kritis. Saat ini, yang penting Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi, lulus secepatnya, kemudian mengadu nasib dengan melamar kerja kesana kemari, atau masuk menjadi anggota salah satu parpol.
Dengan sistem pendidikan yang yang berorientasi uang, masyarakat yang tak mampu dengan sendirinya terpinggirkan dan hanya menjadi penonton belaka. Banyak kebijakan politis pemerintah yang berpihak pada kaum kebanyakan , namun dalam implementasinya sulit untuk dinyatakan efektif, karena pengelola sekolah dan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta cenderung memilih hukum pasar dibandingkan dengan idealisme pendidikan murah dan gratis seperti yang sering dikampanyekan calon bupati/walikota/gubernur bahkan presiden sekalipun.
Pendidikan yang mestinya memanusiakan manusia, justru mempersiapkan manusia menjadi robot merotot. Sekolah menjadi pabrik manusia baru yang mata duitan. Memandang segala sesuatu hanya bernilai jika mengandung uang. Jika Ki Hajar Dewantoro masih hidup, beliau pasti sedih karena perjuangannya mendirikan Taman Siswa dulu tidak selaras dengan kenyataan dunia pendidikan saat ini. Namun hikmahnya, sekarang kita faham mengapa semakin banyak para pejabat dan politikus yang kepergok KPK terima uang yang tidak jelas juntrungannya di hari minggu…. !!

Senin, 06 April 2009

Arti Advokasi?

Mas Mulyadi
Sebelum membahas pengertian advokasi yang berlaku secara umum dan advokasi menurut IRM, maka ada baiknya kita mengurai dulu keterkaitan antara hikmah dan advokasi. “hikmah itu apa?” dan “advokasi itu semacam bagaimana?” Ini penting guna meretas pemaknaan yang ada dan menghindari ambiguitas.
Hikmah dan advokasi merupakan dua bentuk aktivitas yang berbeda. Keduanya memiliki spesifikasi dan aplikasi kerja dan sistematika konsep khusus, yang didalamnya terdapat variabel kerja tersendiri dalam pencapaian targetnya. Namun dalam penerapannya dapat dibentuk suatu rangkaian yang saling mempengaruhi. Sebuah koordinasi sektarian yang dibangun dengan lebih melihat kebutuhan intern. Walaupun pada akhirnya akan tetap terdapat beberapa prinsip prinsip khusus yang berdiri tegak sebagai bentuk sifat aslinya.Oleh :
Sebuah tatanan hasil kombinasi rangkaian yang dipaksakan saling mendukung dimana keberadaan hikmah dapat diorientasikan fungsinya pada tataran pengembangan gagasan dan wacana gerakan atau perumusan konsep (teori). Sementara kehadiran advokasi dapat dimaknai sebagai gerakan aplikasi aktif atas hasil kajian dan perumusan perumusan sikap atau perlawanan pada tahap awal, baik dalam lembaran hikmah ataupun dalam kajian-kajian khusus.
Adapun makna hikmah dan advokasi dalam beberapa teori terdapat beberapa arti diantaranya :
“Hikmah secara bahasa berarti politik, secara istilah dalam kamus bahasa Indonesia (1998:780) politik ialah (1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan,(2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintah negara atau negara lain, (3) cara bertindak (dalam menghadapi masalah) atau kebijakan”
Menurut Miriam Budiarjo (1981:8) “Politik adalah bermacam macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan dari sistem dan melaksanakan tujuan itu”.
Sedangkan advokasi menurut almarhum Mansour Faqih (2000) adalah media atau cara yang digunakan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Advokasi lebih merupakan suatu usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap maju.
Dalam buku “membela taman sebaya” disebutkan bahwa: “Advokasi is defined is the promotion of cause or the influenching of policy, founding streams or other politically determined activity”. Artinya advokasi adalah promosi sebab atau pengaruh sebuah kebijakan atau aktifitas lainnya yang ditentukan secara politik.
Advokasi juga merupakan langkah untuk merekomendasikan gagasan kepada orang lain atau menyampaikan suatu issu penting untuk dapat diperhatikan masyarakat serta mengarahkan perhatian para pembuat kebijakan untuk mencari penyelesaiannya serta membangun dukungan terhadap permasalahan yang diperkenalkan dan mengusulkan bagaimana cara penyelesaian masalah tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa advokasi lebih merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan perubahan, dengan memberikan sokongan dan pembelaan terhadap kaum lemah (miskin, terbelakang, dan tertindas) atau terhadap mereka yang menjadi korban sebuah kebijakan dan ketidak adilan.
Dalam konteks kehidupan sosial keagamaan dan kemanusiaan, advokasi lebih merupakan penerjemahan secara praksis dari nilai nilai keagamaan yang berdimensi sosial, sekaligus sebagai gerakan pembebasan dan kemanusiaan. Tujuannya adalah terjadinya transformasi struktur dari struktur yang menindas dan tidak berpihak kepada kaum lemah kepada struktur yang secara sosial, politik, dan ekonomi, lebih manusiawi, etis, egalitarian, dan berkeadilan—bukan untuk mengantarkan kelas mustadha’afin menegakkan kediktatoran baru.
Advokasi ketika dikaitkan dengan skala masalah yang dihadapi bisa dikategorikan kepada tiga jenis:
1. Advokasi diri, yaitu advokasi yang dilakukan pada skala lokal dan bahkan sangat pribadi. Misalnya saja ketika seorang pelajar tiba tiba diskorsing oleh pihak sekolah tanpa adanya kejelasan, maka advokasi yang dilakukan adalah dengan cara mencari kejelasan atau klarifikasi kepada pihak sekolah.
2. Advokasi kasus, yaitu advokasi yang dilakukan sebagai proses pendampingan terhadap orang atau kelompok yang belum memiliki kemampuan membela diri dan kelompoknya.
Advokasi kelas, yaitu sebuah proses mendesakkan sebuah kebijakan publik atau kepentingan satu kelompok masyarakat (dalam hal ini pelajar dan remaja) dengan tujuan akhir terwujudnya perubahan sistematik yang berujung pada lahirnya produk perundang undangan yang melindungi atau berubahnya legislasi yang dianggap tidak adil. Advokasi jenis ini melibatkan stakeholder yang lebih banyak dan proses yang lebih sistematis

Oleh : Mas Mulyadi
Sebelum membahas pengertian advokasi yang berlaku secara umum dan advokasi menurut IRM, maka ada baiknya kita mengurai dulu keterkaitan antara hikmah dan advokasi. “hikmah itu apa?” dan “advokasi itu semacam bagaimana?” Ini penting guna meretas pemaknaan yang ada dan menghindari ambiguitas.
Hikmah dan advokasi merupakan dua bentuk aktivitas yang berbeda. Keduanya memiliki spesifikasi dan aplikasi kerja dan sistematika konsep khusus, yang didalamnya terdapat variabel kerja tersendiri dalam pencapaian targetnya. Namun dalam penerapannya dapat dibentuk suatu rangkaian yang saling mempengaruhi. Sebuah koordinasi sektarian yang dibangun dengan lebih melihat kebutuhan intern. Walaupun pada akhirnya akan tetap terdapat beberapa prinsip prinsip khusus yang berdiri tegak sebagai bentuk sifat aslinya.
Sebuah tatanan hasil kombinasi rangkaian yang dipaksakan saling mendukung dimana keberadaan hikmah dapat diorientasikan fungsinya pada tataran pengembangan gagasan dan wacana gerakan atau perumusan konsep (teori). Sementara kehadiran advokasi dapat dimaknai sebagai gerakan aplikasi aktif atas hasil kajian dan perumusan perumusan sikap atau perlawanan pada tahap awal, baik dalam lembaran hikmah ataupun dalam kajian-kajian khusus.
Adapun makna hikmah dan advokasi dalam beberapa teori terdapat beberapa arti diantaranya :
“Hikmah secara bahasa berarti politik, secara istilah dalam kamus bahasa Indonesia (1998:780) politik ialah (1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan,(2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintah negara atau negara lain, (3) cara bertindak (dalam menghadapi masalah) atau kebijakan”
Menurut Miriam Budiarjo (1981:8) “Politik adalah bermacam macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan dari sistem dan melaksanakan tujuan itu”.
Sedangkan advokasi menurut almarhum Mansour Faqih (2000) adalah media atau cara yang digunakan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Advokasi lebih merupakan suatu usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap maju.
Dalam buku “membela taman sebaya” disebutkan bahwa: “Advokasi is defined is the promotion of cause or the influenching of policy, founding streams or other politically determined activity”. Artinya advokasi adalah promosi sebab atau pengaruh sebuah kebijakan atau aktifitas lainnya yang ditentukan secara politik.
Advokasi juga merupakan langkah untuk merekomendasikan gagasan kepada orang lain atau menyampaikan suatu issu penting untuk dapat diperhatikan masyarakat serta mengarahkan perhatian para pembuat kebijakan untuk mencari penyelesaiannya serta membangun dukungan terhadap permasalahan yang diperkenalkan dan mengusulkan bagaimana cara penyelesaian masalah tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa advokasi lebih merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan perubahan, dengan memberikan sokongan dan pembelaan terhadap kaum lemah (miskin, terbelakang, dan tertindas) atau terhadap mereka yang menjadi korban sebuah kebijakan dan ketidak adilan.
Dalam konteks kehidupan sosial keagamaan dan kemanusiaan, advokasi lebih merupakan penerjemahan secara praksis dari nilai nilai keagamaan yang berdimensi sosial, sekaligus sebagai gerakan pembebasan dan kemanusiaan. Tujuannya adalah terjadinya transformasi struktur dari struktur yang menindas dan tidak berpihak kepada kaum lemah kepada struktur yang secara sosial, politik, dan ekonomi, lebih manusiawi, etis, egalitarian, dan berkeadilan—bukan untuk mengantarkan kelas mustadha’afin menegakkan kediktatoran baru.
Advokasi ketika dikaitkan dengan skala masalah yang dihadapi bisa dikategorikan kepada tiga jenis:
1. Advokasi diri, yaitu advokasi yang dilakukan pada skala lokal dan bahkan sangat pribadi. Misalnya saja ketika seorang pelajar tiba tiba diskorsing oleh pihak sekolah tanpa adanya kejelasan, maka advokasi yang dilakukan adalah dengan cara mencari kejelasan atau klarifikasi kepada pihak sekolah.
2. Advokasi kasus, yaitu advokasi yang dilakukan sebagai proses pendampingan terhadap orang atau kelompok yang belum memiliki kemampuan membela diri dan kelompoknya.
Advokasi kelas, yaitu sebuah proses mendesakkan sebuah kebijakan publik atau kepentingan satu kelompok masyarakat (dalam hal ini pelajar dan remaja) dengan tujuan akhir terwujudnya perubahan sistematik yang berujung pada lahirnya produk perundang undangan yang melindungi atau berubahnya legislasi yang dianggap tidak adil. Advokasi jenis ini melibatkan stakeholder yang lebih banyak dan proses yang lebih sistematis


Mereka Layak Mendapat Pendidikan

Suarakan Pendidikan murah bekualitas. Banyak sekali anak indonesia yang putus sekolah karena keterbatasan biaya. Walaupun banyak penyedia sekolah gratis, sekolah murah tapi sayang kualitas tidak dapat di jamin. Banyak sekolah Negri di Indonesia ini yang menjadi Sekolah Unggulan karena memang kualitas Standar Imternasional. Tapi tak banyak anak indonesia yang mendapat pelayanan pendidikan setaraf internasional. Karena keterbatasan biaya. Sekolah unggulan identik dengan sekolah mahal. Jadi bagi kaum Dhu'afa sulit untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Muncul lagi sekarang ini yang berkualitas dan bisa di jamin yaitu Sekolah -sekolah Terpadu. Tapi semua sekolah terpadu yang berkualitas tetap saja mahal. Jadi hanya kalangan elit saja yang mampu menyekolahkan anaknya di sekolah terpadu. Maka ini PR bagi pemerintah untuk menyediakan Sekolah Taraf Internasional tentunya dengan biaya yang Murah...!!!!

Suarakan Sekolah Murah Berkualitas. Hidup Pelajar.

Minggu, 29 Maret 2009

Pasukan PD IPM Klaten

Susuna Personalia PD IPM Klaten Periode 2009/2011..telah terbentuk
Ketua Umum : Arif Jatmiko
Sekretyaris Umum : Heru Cahyono
Bendahara Umum : Rina Wulansari
Bendahara I : Astri

Ketua :
Bidang Organisasi : Yunanto
Bidang Kader : Dwi Reka Setiyawan
Bidang SDI : Zaini Muchtar Zaman
Bidang PIP : Yuar Dwi Utami
Bidang Asko : Ervina Listyowati
Bidang Advokasi : Muhammad Sholikhin

Skretaris :
Bidang Organisasi : Neni Novianti
Bidang Kader : Nova Suharyanto
Bidang SDI : Sri Iswanto
Bidang PIP : Hanif
Bidang Asko: Mikail
Bidang Advokasi : Musadek